Menjadi Tokoh Tanpa Menjadi Tokoh
Mengarungi bahtera
kehidupan fana, menyimpan sejuta warna, menghadirkan beragam suara,
mendatangkan berbagai problematika, melukiskan kanvas-kanvas sketsa, memotret
berbagai budaya.
Parmin berjalan
menelusuri lorong-lorong, mengibas daun di pinggir jalan. Jalan setapak
berakhir di ujung jalan, dia mulai melewati pematang sawah. Padi yang baru
ditanam, melambai diterpa angin, melambai pelan pada siapapun yang melewatinya.
Dia meloncati kali kecil di pinggir sawah, menyeberangi sungai dengan jembatan
dari kayu, setiap kaki melangkah jembatan bergoyang, membangkitkan rasa
khawatir. Langkah kaki yang mantap, tak ada sesuatu yang bisa menghalangi.
Berjalan terus di antara pohon-pohon Jati yang berjejer, pohon-pohon yang mulai
bertumbangan, dilahap kerakusan manusia. Sejauh mata memandang, pohon Jati
tinggal satu dua dalam jarak pandang saling berjauhan, mungkin dalam waktu
dekat akan habis.
Kaki melangkah
melanjutkan perjalanan melewati rumah-rumah penduduk yang juga saling
berjauhan. Hidup di desa terpencil, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Hampir
empat kilometer berjalan. Tak terasa keletihan tubuh, tak terasa kelelahan
datang, tak terasa kepenatan, yang ada sebuah tanggung jawab di dada untuk
mendidik generasi mendatang di desanya, generasi yang siapa tahu menentukan
perubahan bangsa.
Pandangan mata
menerawang, menerobos jarak yang mampu dijangkau panca indera. Dari kejauhan,
bangunan Madrasah Diniyah dan Tsanawiyah yang dikelola Pesantren Al-Ihsan mulai
terlihat. Perjalanan lima kilometer tidak memiliki arti, ketika tujuan hadir di
depan mata. Setiap hari dia berjalan kaki menempuh jarak lima kilometer, agar
bisa mengajar anak-anak di desanya.
Parmin berusaha datang
pertama kali ke Madrasah, meski biasanya didahului pengelola pesantren. Dalam
pandangan matanya terpampang jelas, guru harus menjadi tauladan bagi murid,
termasuk datang duluan. Murid-murid di desanya tidak bersemangat belajar.
Mereka kadang masuk, kadang tidak. Jumlah murid dalam kelas dalam kondisi
normal sekitar 15-18 orang, satu kelas sering hanya berisi 10 orang saja, itu
pun sebagian besar yang bermukim di pesantren. Pernah dia menyelidiki hal itu;
ada yang membantu orang tua di ladang, ada yang ikut ibu berbelanja ke pasar
yang berjarak dua puluh kilometer, ada yang membantu ayahnya memancing ikan di
sungai, ada yang memang malas, tanpa ada perhatian serius dari orang tuanya.
Ini tidak menyurutkan
langkah Parmin untuk tetap mengajar di Madrasah, dengan honor mengajar yang
tidak seberapa jumlahnya, malah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dia bersemangat mengajar bukan melihat sisi materi yang
didapatkan, tapi pengabdian hidup pada anak-anak di desanya, agar bisa menjadi
anak-anak yang berpendidikan tidak seperti orang tuanya. Dia berkeyakinan,
bahwa pendidikan merupakan sarana yang tepat membantu seseorang bisa mengarungi
kehidupan, membentuk akhlak mulia, memperbaiki keadaan mereka di masa
mendatang, sehingga dalam bertindak tidak hanya menggunakan perasaan, juga
dengan pemikiran.
Guru di Madrasah
berjumlah sembilan orang, setiap guru mengajar materi bermacam-macam dengan
kelas berbeda. Semangat mengajar sejawatnya memang tidak seperti dirinya. Maka
terkadang dia mengajar dua sampai tiga kelas berbeda dalam waktu bersamaan.
Inilah yang memaksanya lebih rajin mengajar, jika tidak, akan banyak kelas
kosong tanpa pengajaran. Sesuatu yang akan membahayakan kelangsungan Madarasah,
dan membahayakan pendidikan murid secara keseluruhan. Hal inilah yang membuat
pengelola pesantren menempatkannya sebagai guru teladan. Sebenarnya dia sering
ditawari menetap di pesantren dengan dijamin kebutuhan hidupnya, dia tidak
bersedia, sebab memiliki tanggung jawab berbeda di mushallah rumahnya.
Imajinasi yang terbang
bebas di angkasa, mengepakkan sayap membelah awan, mengelilingi bumi secara
bebas, membuat Parmin tak menyadari kehadiran murid-murid di Madrasah. Berarti
pelajaran akan dimulai bersamaan dengan bel berdentang. Dia melangkah menuju
ruang kelas IV Diniyah yang berada di tengah.
“Assalamu’alaikum,
Anak-anak!”
“Wa’alaikum salam, Ustadz!”
Parmin muncul di depan
pintu, disambut jabatan tangan murid-muridnya satu persatu, ada 11 orang yang
hadir. Jabatan tangan murid dengan guru, menjadi simbol ikatan kuat antara
mereka. Ikatan yang membuatnya betah mengajar dalam berbagai kondisi.
“Untuk pelajaran akhlak
kali ini, kita akan membelajari bagaimana cara menghormati orang tua. Sudah
siap Anak-anaaak?”
“Siaaap, Ustadz!”
“Coba kamu, Sutarji dan
Sulis maju ke depan!” Dua orang murid maju ke depan.
“Yang lain perhatikan ke
depan! Seandainya saya orang tua kalian berdua, apa yang dilakukan setelah
pulang sekolah?”
“Langsung ke dapur,
makan, Ustadz!” sahut salah seorang murid
“Huuuh! Makan saja yang
di urus, nanti perut kamu meledak,” sahut yang lain.
“Ha ha ha!” Mereka
tertawa, dia hanya tersenyum.
“Perhatikan kembali!
Sulis dan Sutarji coba berdiri dekat pintu! Begitu pulang sekolah beri salam
pada orang tua di dalam rumah! Coba beri salam.”
“Assalamu’alaikum!”
“Setelah itu cari orang
tua kalian, jabat tangannya. Kalau saya orang tua kalian, coba jabat tangan
saya!” Sulis dan Sutarji menjabat tangannya. “Begitulah cara menghormat pada
orang tua sepulang sekolah. Mengerti Anak-anak?”
“Mengertiii!”
“Kalian berdua duduk
kembali!”
“Assalamu’alaikum!” Suara
seseorang dari luar kelas.
“Wa’alaikum salam.
Silahkan masuk!”
“Ustadz! kelas III
Tsanawiyah tidak ada gurunya,” ujar seorang murid setelah masuk ke dalam kelas.
“Tunggu sebentar, aku
akan ke sana!”
“Baik, Ustadz!” Murid itu
kembali ke kelasnya.
“Anak-anak, coba sekarang
tulis bagaimana cara menghormati orang tua sepulang sekolah. Nanti saya nilai.”
Parmin melangkah menuju
ruang kelas III Tsanawiyah, kebetulan materi yang diajarkan Bahasa Indonesia,
dia mengajarkan tentang puisi. Dia mencatat puisi -hasil karya sendiri yang
dicatat di buku harian- di papan tulis.
Aku bukan Aku
Aku wajah asli kebebasan
Berkehendak laksana buih
di lautan
Berpikir menembus ruang
waktu kehidupan
Bermain dalam pusaran
Bertindak di luar rel-rel
yang ditentukan
Aku air mengalir
Memberi kehidupan sejagad
raya
Memenuhi dahaga manusia
Menghijaukan bumi
Aku angin berhembus
merona
Membelai manusia sengsara
Menghembuskan nafas-nafas
bahagia
Menghapus duka lara
Aku manusia berusaha
paripurna
Mengekspresikan diri
dalam berbagai warna
Mengatur isi batok kepala
Menjelma penguasa diri
Menghidupkan hati nurani
Melahirkan bayi-bayi
karsa
Memperbaiki keriput wajah
dunia
“Anak-anak, tulis puisi
ini! Setelah itu latihan membaca, nanti akan saya suruh satu persatu untuk
membaca ke depan.”
Parmin melangkah ke luar,
melanjutkan pelajaran akhlak di kelas IV Diniyah. Tugas yang tidak ringan,
dijalani sepenuh hati, diserap sepenuh jiwa, dilaksanakan tanpa mengeluh.
Pukul 13.00 Parmin pulang
ke rumah, sampai di rumah dua jam kemudian. Lalu melaksanakan shalat Asyar dan
pergi ke ladang, menyirami ketimun yang hampir dipanen, membersihkan
rumput-rumput dan menyabitnya untuk makanan kambing di kandang. Baru menjelang
Magrib pulang ke rumah.
Parmin mandi, bersiap-siap
mengajar mengaji. Dia mengajarkan anak-anak di surau yang tidak jauh dari
rumahnya sampai Isya’. Selesai shalat Isya’ memberikan pengajian pada
masyarakat desa sekitar satu jam. Baru makan malam dan bisa mengistirahatkan
dirinya, ditemani seorang istri yang penuh pengertian, bersedia hidup berdua
dalam segala kondisi, menerima apa adanya keberadaan suami. Bangun pagi buta,
bersiap-siap mengajar di Madrasah kembali.
Begitulah kegiatan
rutinnya setiap hari. Tidak terlontar dari kedua mulutnya keluhan, apalagi
ratapan tak berguna, yang mendatangkan kesedihan dan mematahkan semangat di
dada. Baginya kehidupan adalah kenyataan yang harus dijalani, baik pahit atau
manis. Setiap warna kehidupan yang hadir akan menyimpan makna mendalam bagi
diri. Pahit atau manis tergantung cara seseorang memandang kehidupan, kadang
sesuatu yang pahit menjadi manis bila dipandang dengan benar, dan yang manis
jadi pahit jika dipandang keliru.
Pernah suatu hari,
tubuhnya panas, hampir mengurungkan niat untuk pergi mengajar. Bayangan murid
yang terbengkalai, memaksanya berangkat mengajar, meski dilarang istrinya.
Penyakit ringan bukan
penghalang untuk sebuah pengabdian. Keberangkatannya ke Madarasah, merupakan
kemenangan batin atas kemanjaan tubuh lahiriah, yang menuntut dilayani dengan
istirahat. Justru dengan berangkat mengajar, panas tubuh menjadi tak terasa.
Sesampainya di Madrasah, dia merasa sehat kembali.
“Ustadz! Kenapa
panjenengan betah menjalani kegiatan yang sangat padat ini?” tanya salah
seorang penduduk.
“Menjalani kegiatan yang
padat, bukan dilihat betah atau tidak, senang atau tidak. Bagaimana kegiatan
itu dijalani lebih penting. Ketika waktu yang melingkupi kehidupan setiap hari,
berhasil ditaklukkan dengan berbagai kegiatan, berarti kita memanfaatkan seluruh
potensi yang dianugrahkan Allah pada kita. Anugerah berupa pikiran, hati,
imajinasi, tubuh yang sehat, harus digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan.”
“Imbalan pada panjenengan
tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh.”
“Jika kehidupan dipandang
dari hasil, akan kiamat dunia ini. Sebab hasil tidak setiap saat seiring dengan
proses, ketika tidak berimbang kita akan merasa kecewa, frustasi, stres, dan
pusing. Maka melakukan suatu proses yang optimal, tidak harus mengharap hasil
optimal pula. Percayalah! Dengan proses optimal, kita akan menggapai makna
kehidupan yang dalam. Makna kehidupan yang akan menggiring pada kebijaksanaan,
kebaikan tertinggi, kebahagian sempurna. Sehingga kita bisa menangkap ikan
dalam air keruh tanpa riak.”
“Apa panjenengan sudah
mencapai taraf itu?”
“Belum. Saya percaya akan
mencapainya suatu saat. Waktu yang akan mencatat apa yang telah kita kerjakan
di dunia, tempat perhentian sesaat yang sewaktu-waktu bisa ditingkalkan.”
“Ustadz adalah tokoh yang
sebenarnya, yang diimpikan kehadirannya oleh seluruh rakyat Indonesia.
Panjenengan figur yang tepat menjadi tokoh tanpa menjadi tokoh, yang mampu
mengerahkan segala potensi yang dimiliki demi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Tanpa melihat imbalan yang diperoleh, tanpa melihat hasil yang didapat,
tanpa pamrih. Seharusnya Amien Rais, Aa Gym, Ary Ginanajar, Ilham Arifin, Gus
Dur, Megawati, Soetanto dan Bambang Yudhoyono, belajar pada panjenengan.
Kehadiran panjenengan lebih bermakna bagi rakyat dari tokoh itu sendiri. “
“Jangan bercanda!” Parmin
tersenyum tulus. Senyum yang memberi tanda agar tidak hanyut buaian pujian.
Pujian adalah racun yang bisa membunuh. Dia berhati-hati terhadap racun, maka
tak pernah mempedulikannya.
Parmin ada karena ingin
berada. Dia menjelma dalam kenyataan sebagai sosok yang mampu mengendalikan
keinginan-keinginan sesaat tubuh, mengendalikan keinginan dari keinginan,
membimbing hati pada pengabdian, mendorong pikiran mencerna kehidupan,
menghidupkan imajinasi demi menggapai makna terselubung kehidupan yang selalu
menyimpan misteri, memanfaatkan pikiran agar bermanfaat pada orang lain.
Misteri hidup yang tak
akan terungkap jika pikiran hanya mengendalikan pikiran, hati mengendalikan
hati, tubuh mengendalikan tubuh, imajinasi mengendalikan imajinasi. Merangkum
semua potensi dalam suatu tindakan kehidupan, yang akan membimbing
tersingkapnya misteri kehidupan manusia.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:
Posting Komentar