Cemarnya Dunia Pendidikan Kita
Gelar
akademik masih jadi berhala pada sebagian kalangan pendidik kita. Demi gelar,
mereka 'mengorbankan' rasa malu, kesantunan dan etika dalam dunia pendidikan.
Fenomena ini
terjadi pada ratusan guru di Sulawesi Utara. Mereka memilih cara gampang dan
instan untuk mendapatkan gelar magister pendidikan dengan membayar Rp 25 juta
hingga Rp 30 juta. Namun, uang para pendidik itu hilang karena mereka terjerat
praktik pemberian gelar “palsu” dari perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur.
Gelar magister disebut palsu karena institusi pendidikan pemberi gelar tak
terakreditasi.
Praktik
jual-beli gelar oleh para guru itu bahkan diduga sudah berlangsung selama dua
tahun! Mereka melakukan itu demi tuntutan aturan terbaru soal tunjangan
sertifikasi guru yang akan diterapkan pada 2015.
Memang,
jual-beli gelar akademik bukan hal baru di negeri ini. Bekas Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD pun pernah mengungkap, di Indonesia hingga kini tidak
sedikit pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang membeli gelar
akademik. Namun, yang patut disayangkan adalah pembeli gelar itu adalah dari
kalangan guru.
Sikap
pragmatisme para pendidik itu mencerminkan penyimpangan orientasi mereka di
dunia pendidikan. Padahal, sebagai pendidik sejatinya mereka menjadi pejuang di
garda terdepan dalam memperjuangkan nilai-nilai dan etika pendidikan. Sikap itu
harus menjadi pilihan mereka, alih-alih hasrat untuk mencapai keuntungan
materi, kenaikan pangkat dan jabatan.
Fenomena
jual-beli gelar di kalangan pendidik mungkin saja merupakan fenomena gunung es
di Indonesia. Sebab bulan Agustus lalu juga ada laporan kasus serupa yang
terjadi di Propinsi Kalimantan Tengah.
Pembelian
ijazah di kalangan pendidik di negeri ini jelas semakin mengerdilkan kualitas
para pendidik kita. Ini menambah panjang kasus miris di dunia pendidikan
seperti plagiarisme, perjokian dan korupsi di sekolah dan universitas.
Masih kuat di
ingatan kita kasus plagiat dua dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran
(Unpad), Mei lalu. Kedua dosen itu diduga telah melakukan aksi plagiat terhadap
tesis bekas mahasiswanya! Di propinsi yang sama, pada 2010 muncul kasus plagiat
yang dilakukan seorang doktor lulusan Institut Tehnologi Bandung (ITB).
Dengan
kualitas pendidik seperti itu, kita akan bertanya: seperti apa kualitas anak
didik mereka kelak? Sikap ini menunjukkan kegagalan mereka sebagai pendidik.
Tak ada keteladanan yang mereka berikan.
Kita
mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang mengatur jual-beli ijazah
ini. Dalam aturan ini, pemakai ijasah palsu diancam hukuman pidana paling lama
lima tahun penjara, sementara pemberi gelar diancam pidana penjara 10 tahun
hukuman penjara.
Namun, yang
kini harus segera dilakukan pemerintah adalah ketegasan sikap pada guru yang
tersangkut kasus ini. Penertiban praktik jual-beli gelar pun harus serius
ditangani.
Akhirnya,
kita berpendapat, kasus ini sudah seperti melebihi mafia di bidang pendidikan.
Sebab, dampak praktik ini akan sangat berdampak pada kualitas anak didik kita,
generasi masa depan bangsa.
Gelar palsu
telah mencemari dunia pendidikan. Ini harus segera dibersihkan.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:
Posting Komentar