MENGARTIKAN KEPANDAIAN ANAK DENGAN BENAR
Beberapa guru ketika berbincang di kantor selepas mengajar
membicarakan siswa tertentu, misalnya Andi itu anak pandai karena setiap
ulangan nilainya hampir sempurna, rata-rata nilainya 95, lain lagi dengan Nia
dan Mita, Nia anak yang pandai karena nilai matematika dan bahasa inggrisnya
dalam setiap ulangan pasti sempurna yaitu 100, diapun selalu rengking I di
kelasnya, Sedang Mita juga tergolong anak pandai karena ia sering menjadi juara
dalam lomba-lomba mata pelajaran .
Para orang tua juga begitu, mereka memuji anak sendiri
atau anak orang lain karena anak tersebut nilainya senantiasa bagus dan sering
mendapat penghargaan atau hadiah karena prestasinya tersebut. Bahkan banyak
orang tua menyalahkan dan memarahi anaknya gara-gara ia mendapat nilai jelek.
Singkat kata, para guru, orang tua serta masyarakat sering mengukur kepandaian
seorang anak dari hasil belajar yang berupa nilai-nilai atau angka-angka dari
setiap pelajaran yang dipelajari. Pertanyaannya, apa itu salah?
Perbaikan Cara Memandang
Pembaca yang budiman, cara pandang seperti kasus di atas
memang tidak salah, tapi kurang sempurna, yaitu kurang utuh dalam memandang
seluruh potensi kecerdasan seorang anak, anak hanya dipandang dari satu sisi
yaitu sisi intelektual atau sisi kognitifnya saja, tanpa melihat sisi kemampuan
sikapnya (afektif) dan kemampuan keterampilannya (psikomotor).
Karena cara pandang seperti itu, banyak guru dan orang
tua lebih memperhatikan kemampuan pemahaman siswa (kognitif) dari
kemampuan-kemampuan yang lain. Segala daya upaya guru dan orang tua hanya
bermuara pada pencapaian nilai atau angka tinggi dalam setiap ulangan, mereka
kurang memperhatikan bagaimana sikap anak tersebut, sopan santun, perilaku,
ucapan dan tindak-tanduk pada orang tua, guru, sesama temannya, dan pada orang
lain. Begitu juga keterampilan siswa juga kurang diperhatikan, yang meliputi
keterampilan beribadah (Spritual Skill), keterampilan berbicara dan
berkomunikasi (Communication Skill), keterampilan mengadakan penelitian ( Mini
Research Skill), keterampilan bersosialisasi dan bermasyarakat (Social Skill),
keterampilan memecahkan masalah (Solve and Problem Skill) serta keterampilan
menggunakan peralatan teknologi tertentu, misalnya penguasaan internet,
keterampilan menggunakan computer dan lainnya.
Yang lebih parah lagi, pemerintah juga mendukung cara
pandang yang salah tersebut, buktinya, dalam ujian nasional tidak ada materi
uji sikap dan uji keterampilan. Pemerintah berdalih, hal itu sudah menjadi
kewajiban sekolah, karena yang menentukan kelulusan seorang siswa seyogyanya
menurut standar evaluasi pendidikan nasional adalah sekolah, bukan pemerintah,
pemerintah hanya membuatkan standar kelulusan siswa saja. yang didalamnya ada
penilaian sikap dan keterampilan. Meskipun pemerintah berdalih seperti itu,
tapi kenyataannya, siswa dikatakan lulus atau tidak ya tergantung pada hasil
unasnya saja. bagaimana ini ya?
Bukti yang kedua, pada setiap tes penerimaan pegawai
negeri di departemen manapun termasuk di Departemen Pendidikan dan di
Departemen Agama, materi yang diujikan ya seputar tes kognitif, misalnya tes
potensi akademik, tes bakat dan minat, tes materi substansial dan lainnya.
Tidak ada tes uji sikap atau uji keterampilan, maka tidak heran ketika di
terima, beberapa dari mereka melakukan tindakan yang kurang sopan, ibadahnya
juga kurang, bahkan yang lebih parah, mereka ada yang tidak bisa mengetik di
computer, internet apalagi. Wah…wah… bagaimana penyelenggaraan negara bisa
bagus, kalau SDM yang terpilih seperti itu.
Oleh karena itu mari kita rubah cara pandang kita
terhadap seorang anak atau siswa, anak dikatakan pinter, cerdas, pandai bukan
hanya dari segi kognitif saja yang bagus, namun dari segi afektif (sikap) dan
keterampilan ( skill) juga harus bagus. Bahkan dalam komunitas perusahaan besar
di dunia sekarang berubah dalam memandang kapasitas dan kepandaian seseorang,
menurut mereka, justru orang yang pandai dan mendapat kesempatan untuk memimpin
perusahaan peringkat pertama adalah orang yang mempunyai kemampuan
mengendalikan emosi dan mempunyai integritas sikap yang baik, misalnya
kejujuran, tanggung jawab, kepemimpinan dan lainnya, baru peringkat selanjutnya
adalah karena keilmuwan mereka dan kemampuan skill mereka. Bagaimana
pendapatmu?